DILARANG JADI PENYANYI
Masa tugas Tatang Kosasih di Malaysia berakhir pada tahun 1975. Setelah kembali ke Bandung, ia pun kembali bekerja sebagai staf Kanwil Depdiknas Provinsi Jawa Barat. Nicky melanjutkan sekolahnya di kelas 4 SD Negeri Halimun. Selain itu, bakat Nicky sebagai penyanyi juga makin menonjol, lebih-lebih setelah ayahnya membelikan seperangkat alat musik bagi anak-anaknya. Maklum, Tatang dan Andrina dikenal sebagai seniman Sunda. Selain menguasai berbagai seni Sunda, Tatang cukup piawai memainkan gamelan Sunda. Andrina juga dikenal sebagai penari Sunda yang cukup populer.
Di rumah mereka yang cukup besar di Jalan Palasari, Bandung, dua perangkat musik memenuhi ruang tamu keluarga. Seperangkat adalah gamelan Sunda dan seperangkat lain alat musik modern, seperti gitar, organ, piano, dan drum. Wajar saja kalau keempat saudara Nicky akhirnya mampu memainkan kedua jenis alat musik itu. ‘Rumah musik’ itu kian hiruk-pikuk manakala teman-teman ayah Nicky atau teman kakak-kakak Nicky datang. Akibatnya, rumah ini tidak pernah sepi dan menjadi tempat ‘ngepos’ banyak seniman Bandung. Di antara para musisi yang sering datang ke rumah itu antara lain, Euis Komariyah, Uum Gumbira, Tati Saleh, Deddy Dores, dan Denny Sabri, seorang pencari bakat.
Oleh ayahnya, Nicky pun didorong untuk mengikuti berbagai festival penyanyi pop tingkat kabupaten/kotamadya dan kemudian tingkat provinsi. Ia juga mengikuti latihan menari tradisional Sunda, dan berhasil menguasai berbagai jenis tarian. Setiap kali Nicky akan mengikuti festival menyanyi, ayahnya akan memanggilkan dua guru privat ke rumah, yaitu Panji Trisna Senjaya dan Sukaeti Hidayat, yang ditugasi melatih teknik vokal Nicky untuk jenis lagu seriosa dan keroncong. “Saya dulu sangat malas kalau disuruh les nyanyi,” kenang Nicky. “Setiap kali mereka datang, saya sembunyi di kamar. Untunglah, keduanya sangat sabar dan kreatif. Karena hobi saya makan kerupuk dan bakso, maka setiap kali datang, mereka selalu membawakan saya oleh-oleh bakso dan kerupuk, ha...ha...ha....”
Kalau lupa atau tidak sempat membelikan makanan kesukaan Nicky itu, mereka harus siap dengan uang seribuan sebagai iming-iming. “Mau jajan, nggak?” ujar sang guru, sembari mengacung-acungkan uang itu di depan Nicky.
“Nicky memang sangat malas kalau disuruh berlatih vokal,” ujar Panji Trisna. “Karena itu, saya suka marah-marah kalau sedang melatih dia. Saya bilang, ‘Kamu ini jadi mau ikut festival tidak, sih?’ Tapi, dasar anak cengeng, kalau dimarahi dia langsung menangis. Anehnya, meski latihannya malas-malasan, ia selalu meraih juara pertama atau kedua dalam setiap festival di tingkat kabupaten atau provinsi. Saat itu ia selalu bersaing ketat dengan Ruth Sahanaya, yang juga orang Bandung,” lanjutnya.
Ketika masih duduk di SD, Nicky sudah mengikuti Festival Penyanyi Pop Anak-Anak atau lebih dikenal dengan Bintang Kecil. Di awal SMP (SMP Negeri 13), ia mengikuti Festival Penyanyi Pop Tingkat Remaja. Tapi, seperti juga semua saudaranya yang berlatih musik semata-mata untuk hobi, kepada Nicky ayahnya juga selalu mengingatkan dengan tegas, “Daddy tidak mau punya anak menjadi penyanyi. Kamu boleh menyanyi, tapi untuk hobi saja!”
“Meski peralatan musik di rumah lengkap, orang tua kami sama sekali tidak menginginkan kami menjadi musisi maupun penyanyi,” tutur Dicky. “Berulang kali mereka mengingatkan, musik hanyalah untuk pergaulan atau untuk menyalurkan energi, bukan sebagai pekerjaan utama. Sebagai anak, kami lebih dituntut untuk menyelesaikan pendidikan setinggi mungkin.”
Nicky ingat betul betapa ayahnya sangat khawatir ia bakal jadi penyanyi. Namun, Nicky sendiri tidak terusik, karena ia sendiri tidak pernah bercita-cita jadi penyanyi atau jadi orang terkenal. “Meski saat itu saya menyadari punya talenta menyanyi, tidak pernah terpikir sedikit pun untuk mengembangkannya secara serius,” ujar Nicky. Ia justru ingin menjadi dokter atau insinyur. Tapi, setelah lulus SMA (SMA Negeri 7 Bandung) ia justru ingin menjadi penyiar radio agar bisa cepat mendapat uang dan bisa membantu ibunya.
SETAHUN NUNGGAK SPP Menurut Dicky, alasan kedua orang tuanya menyiapkan semua peralatan musik itu di rumah adalah agar anak-anak mereka tidak banyak main keluar rumah dan kegiatannya bisa dipantau secara langsung. “Jadi, biarpun teman yang datang sampai puluhan orang, Papa-Mama tidak pernah marah atau menegur kami. Bahkan, Mama senang menyiapkan makanan dan minuman untuk teman-teman kami.”
Ternyata, tidak hanya darah seni yang diwariskan kedua orang tuanya kepada Nicky. Ia juga hobi menjamu dan memberi hadiah bagi orang-orang terdekatnya. Akibatnya cukup fatal. Suatu hari Tatang dipanggil ke sekolah Nicky di SMP Negri 13, Bandung, dan diberi tahu oleh pimpinan sekolah bahwa selama setahun Nicky tidak pernah membayar uang SPP (sumbangan pelaksanaan pendidikan). Tentu saja Tatang sangat kaget dan malu. Pasalnya, setiap bulan ia tak pernah lalai memberi uang SPP kepada putrinya.
Berbagai kecemasan menyelimuti hati Tatang. Tapi, sesampai di rumah, semua amarah itu tiba-tiba sirna saat bertemu putri tunggalnya itu. Dengan lemah lembut ia pun bertanya, “Nicky tidak pernah membayar SPP, ya?“ Nicky mengangguk dengan penuh ketakutan. Setelah dipancing-pancing, barulah keluar pengakuannya bahwa uang SPP itu ia gunakan untuk... mentraktir teman-teman sekolahnya!
Menurut Nicky, yang gemar membaca komik-komik ‘putri raja’, seperti Cinderella, Putri Salju, atau karya-karya Hans Christian Andersen, uang itu tidak seluruhnya dipakai untuk mentraktir teman, tapi juga untuk menyewa dan membelikan buku atau barang-barang lain kesukaan teman-temannya. “Saya memang suka sok bossy. Bos biasanya kan suka mentraktir, he...he...he...,” kenangnya, sambil tertawa.
Sebagai remaja, mungkin saat itu ia masih butuh pengakuan. “Tapi, semua itu saya lakukan bukan karena ingin dipuji atau disanjung, melainkan karena saya memang suka melakukannya. Kadang-kadang sekadar ingin menolong teman, atau ingin fun saja. Hampir seperti hobi,” lanjutnya.
Di saat lain, Tatang juga mendapat laporan bahwa Nicky yang baru duduk di kelas 2 SMP, sering bolos sekolah gara-gara malas mengerjakan PR. Meski setiap pagi Nicky mengenakan seragam sekolah, ia tidak pernah pergi ke sekolah. Ia hanya berjalan beberapa ratus meter dari rumahnya dan kemudian pulang kembali ke rumah setelah ayahnya sudah pergi ke kantor dan ibu serta kakak-kakaknya kuliah. Nicky kemudian naik ke bagian atap rumah agar tidak kelihatan orang lain, dan kalau sudah kepanasan baru masuk ke balik plafon. Akibatnya, genting rumahnya sering pecah.
Namun, lama-kelamaan ada juga yang mengetahui kelakuannya, dan melaporkan kepada ayahnya. Sebenarnya, ayahnya tahu bahwa Nicky sering bolos sekolah dan ngumpet di plafon rumah. Namun, lagi-lagi Tatang tidak tega memarahi putri kesayangannya itu. Pada saat makan malam bersama, Tatang menyindir Nicky dengan berkata pada Dicky, “Sepertinya, di rumah kita ini kalau siang sering ada maling yang suka naik ke atap. Tuh, banyak genting yang pecah. Coba besok siang, sekitar pukul 10-11 siang, kamu lihat ke atas plafon. Siapa tahu kamu bisa menangkap malingnya.” Nicky hanya terdiam, ketakutan sekaligus malu. Sejak itu Nicky kapok membolos dan ngumpet di plafon lagi.
Bersambung ...